Putusan Hakim PN Tarutung Terkait Perkara Tanah Dinilai Abaikan Fakta dan Aturan Hukum
TAPANULI UTARA - Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tarutung yang menangani perkara sengketa tanah yang terletak di Desa Tapian Nauli, Lintong Nihuta, dinilai tidak menggunakan logika dan hati nurani. Pasalnya, majelis hakim yang menangani perkara itu dinilai mangaburkan fakta- fakta maupun aturan hukum yang berlaku.
Putusan perkara nomor 47/Pdt.G/2025/ PN Trt itu dibacakan pada persidangan di Pengadilan Negeri Tarutung oleh Hakim Ketua Martha Napitupulu dan Hakim anggota Trisno Jhohannes Simanullang dan Rinta Nababan, Rabu (29/10/2025) kemarin.
Perkara didaftarkan oleh penggugat Manogu Sihombing, Warga Desa Lobu Tua Lintong Nihuta, Humbang Hasundutan pada tanggal 21 Mei 2025. Dengan objek perkara sebidang tanah perladangan /tanah pertapakan seluas kurang lebih 3.600 meter persegi terletak di jalan raya Desa Tapian Nauli, Desa Tapian Nauli, Kecamatan Lintong Nihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan
Rudi Zainal Sihombing, SH.MH selaku kuasa hukum dari tergugat yakni Maddalean Silaban, Togi P Sihombing dan Parlindungan Sihombing kepada wartawan mengatakan, dalam putusan perkara nomor 47/Pdt.G/2025/PN Trt ada beberapa catatan yang patut digaris bawahi.
Diantaraya, pertimbangan majelis hakim tentang surat jual beli pate Tahun 1980. Para tergugat konvensi menghadirkan saksi yakni Maraden Sihombing yang menerangkan bahwa saksi Maraden Sihombing tidak mengetahui tentang jual beli pate tahun 1980 tersebut. Dan Saksi Maraden Sihombing tidak pernah bertanda tangan pada surat jual beli Pate tersebut.
Terhadap hal tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa adanya sangkalan dari saksi Maraden Sihombing tersebut tidak mengakibatkan perjanjian jual beli pate tahun 1980 tersebut menjadi batal, sebab hak kepemilikan dari tanah tersebut tidak diambil daripadanya, dan para pihak yang menjual, membeli maupun yang menjadi saksi lainnya pada surat tersebut tidak ada yang mengajukan sangkalan atas surat tersebut.
"Perlu kami jelaskan bahwa Maraden Sihombing adalah satu-satunya orang yang masih hidup saat ini yang terlibat sebagai saksi dalam surat perjanjian tersebut," kata Zainal.
"Namun majelis hakim patut diduga telah mengaburkan fakta-fakta ketika mengatakan saksi yang lain tidak ada mengajukan bantahan terhadap keabsahan surat jual beli Pate tersebut," ucap Zainal.
"Faktanya bahwa kami selaku kuasa dari para tergugat ada mengajukan bukti surat berupa surat pernyataan dari Ahli Waris Almarhum Todo Sihombing yang berisi bantahan bahwa tanda tangan saksi Todo Sihombing dalam surat perjanjian jual beli Pate tahun 1980 tersebut bukanlah tanda tangan orangtua mereka dan disertakan dengan bukti surat berupa specimen tanda tangan asli almarhum Todo Sihombing," tambah Zainal.
"Namun hal ini dikesampingkan oleh Majelis Hakim. Para ahli waris yang mengajukan sangkalan tersebut tidak dihadirkan dipersidangan. Namun majelis hakim melupakan bahwa para tergugat juga mengajukan bukti Specimen Tanda tangan alm. Todo Sihombing," terang Zainal.
Lebih lanjut, terkait point pertimbangan pada paragraf ke 5 halaman 39 pada putusan perkara, yang pada pokoknya menyatakan bahwa Rommel Sihombing tidak terdapat perselisihan bahkan tidak juga ada ditemukan perbuatan melawan hukum terhadap penggugat sepanjang menyangkut atas tanah terpekara aquo.
Hal ini jelas merupakan penyelundupan hukum. Bahwa faktanya ada beberapa pihak yang berniat mengajukan intervensi saat perkara berjalan, saat masih tahap pemeriksaan saksi. Salah satu pihak tersebut bernama Rommel Sihombing.
Namun keinginan/permohonan mereka untuk masuk sebagai pihak intervensi dalam perkara ini ditolak oleh Ketua Majelis Hakim pada saat itu dengan alasan karena pemeriksaan sudah masuk dalam tahap pembuktian terakhir yakni pemeriksaan saksi dari para tergugat.
"Sedangkan dalam aturan hukum acara perdata pasal 280 Rv dikatakan bahwa Intervensi bisa masuk dalam pemeriksaan perkara sebelum perkara tersebut masuk dalam tahap kesimpulan atau konklusi," terang Zainal.
Menurut Zainal, seharusnya majelis hakim dapat menilai dengan konfrehensif dan detail berkas yang patut dipercayai asli dan bukti yang patut diduga direkayasa.
"Faktanya bahwa bukti penggugat dengan Kode Bukti P-1 jelas-jelas secara kasat mata adalah hasil rekayasa tulisan (diubah). Sedangkan bukti para tergugat bertanda Bukti T-9 memang fotocopy dari fotocopy namun bersih dan tidak ada tanda rekayasa tulisan atau perbaikan yang jelas berbeda dengan Bukti bertanda P-1," ungkapnya.
Disebut, jika hal itu dikaitkan oleh Majelis Hakim dengan keterangan saksi Maraden Sihombing yang membantah adanya tanda tangannya dalam surat jual beli pate Tahun 1980 dikaitkan juga dengan surat pernyataan para ahli waris saksi Todo Sihombing serta bukti specimen tanda tangan asli almarhum Todo Sihombing tersebut yang jelas sangat jauh berbeda dengan tanda tangan yang tertera dalam surat perjanjian jual beli Pate tahun 1980 tersebut, sepatutnya Majelis Hakim dapat menemukan kebenarannya.
"Namun bisa saja hal ini tidak akan ditemukan karena menurut kami Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut tidak menggunakan Nurani dan logikanya sedikitpun," terangnya.
Sementara itu, terkait dengan surat jual beli pate Tahun 1980 tersebut, dimana yang menjadi pihak penjual adalah seorang dewasa (Orangtua) dan bertindak sebagai pembeli adalah anak dibawah umur (12 Tahun pada saat itu).
Memang dalam surat jual beli pate tersebut ada orang bernama Tiaman Simanullang yang diketahui adalah ibu dari Penggugat. Namun tidak juga ada saksi yang membenarkan bahwa benar Tiaman Simanullang juga turut hadir saat jual beli tersebut dilakukan (Tidak Terkonfirmasi).
Namun Majelis Hakim yang bertindak sebagai Wakil Tuhan tersebut berpendapat bahwa penggugat sudah didampingi orang tuanya saat melakukan transaksi jual beli tersebut. Jelas hal ini merupakan pertimbangan yang berat sebelah
Perjanjian jual beli antara orang dewasa dengan anak di bawah umur secara hukum dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan karena anak di bawah umur dianggap belum cakap secara hukum untuk membuat suatu perikatan.
Syarat sahnya perjanjian, yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal (Pasal 1320 KUH Perdata), tidak terpenuhi pada syarat kecakapan. Akibatnya, perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh pihak yang merasa dirugikan, bukan otomatis batal demi hukum kecuali dalam kasus tertentu. Dijelaskan Zainal, perjanjian tersebut dianggap tidak sah karena tidak memenuhi syarat Kecakapan: Anak di bawah umur (belum berusia 21 tahun) belum dianggap cakap hukum untuk melakukan perbuatan hukum seperti membuat perjanjian jual beli. Perjanjian tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat subjektif (kecakapan) dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
"Harusnya, agar transaksi jual beli dengan anak di bawah umur sah, transaksi harus melibatkan dan disetujui oleh orang tua atau wali sah yang bertanggung jawab secara hukum atas anak tersebut. Memperoleh Izin dari Pengadilan. Untuk transaksi penting seperti jual beli aset (misalnya tanah), diperlukan penetapan perwalian dari Pengadilan Negeri untuk anak di bawah umur tersebut. Jika hal seperti itu semakin sering dipertontonkan oleh para hakim selaku Wakil Tuhan di bumi, maka esok atau lusa, kita akan bebas mengklaim tanah milik orang lain sebagai milik kita. Pesan kami terkahir bertobatlah," katanya. (Hengki).